Pestanya Bubar : Memakna Lebaran

Tak terasa lebaran telah tiba. Setelah sebulan penuh kita menjalankan ibadah puasa ramadhan. . Dan apakah yang sudah kita dapat dari itu? Merasa bebas dari “ujian berat” selama sebulan? Atau kita merasa kehilangannya saat harus berpisah dengannya? Semua tergantung bagaimana kita memaknainya. Karena tak semua orang mampu menangkap makna hakekat yang sebenarnya tentang lebaran. Padahal tanpa kemampuan menemukan makna, segala tindakan kita akan menjadi sesuatu yang teknis, ritual, dan administratif. Banyak orang yang shalat, mengaji, dan berpuasa tapi tak memahami maknanya. Semua dilakukan secara otomatis, tanpa pemikiran, apalagi kesadaran. Kebiasaan membuat kita merasa tak nyaman kalau belum melakukannya. Kita baru merasa nyaman setelah shalat karena kewajiban kita sudah tertunaikan. Membuat kita tak jauh berbeda dengan robot.

Lebaran di negeri kita bisa diibaratkan sebagai sebuah 'pesta'. Sesuai dengan arti lebaran yang dalam bahasa Jawa berarti bubaran. Menandakan kewajiban sudah usai atau bubar. Kita merasa bebas lepas dari 'ujian berat' selama sebulan penuh. Karena itu perlu dirayakan dengan “pesta”. Kita saling mengunjungi dan 'memohon maaf' kepada setiap orang yang kita jumpai. Dimeriahkan pula dengan baju-baju baru beraneka rupa. Belum acara-acara live dari para artis makin menambah kejelasan “pesta” kita. Pun tradisi mudik lebaran yang lebih sering hanya diartikan sebagai bentuk silaturahim dan kegembiraan. Padahal, mudik memiliki makna yang amat dalam. Mudik sebenarnya mencerminkan kerinduan manusia yang luar biasa pada asal muasalnya, pada tanah kelahirannya. Dan, karena asal muasal kita yang hakiki adalah Tuhan, maka mudik ini sebenarnya hanya lah sebuah bentuk kecil dari kerinduan kita yang luar biasa kepada Tuhan. Dan pada gilirannya nanti, kita pun akan melakukan 'mudik' yang abadi ke hadirat Ilahi.

Tetapi tanpa kita sadari, kita juga merayakan 'kemenangan' kita dengan 'kekalahan', antara lain dengan makan dan minum terlalu banyak. Sebagai “balas dendam” selama ramadhan merasa makan dan minum terkekang. Sehingga tak heran kalau pada masa Lebaran banyak yang “overdosis” dan banyak dokter yang kelimpahan pasien dengan keluhan sakit perut, diare, maupun sembelit.

Menengok kembali ke bulan ramadhan. Ibadah puasa adalah suatu bentuk pelatihan, bukan ujian. Tak hanya melatih fisik , tetapi puasa juga melatih mental. Jika ramadhan diibaratkan sebagai sebuah pagelaran seni. Tentu sangat membutuhkan latihan yang sungguh-sungguh. Kemudian , darimana kita bisa menilai bentuk kesuksesan pagelaran seni tersebut? Tentu saja dari saat pementasannya, bukan dari latihannya. Berhasil tidaknya puasa dapat dilihat dari hasil “pementasan” kita setelah kita selesai berpuasa.

Berbeda dengan ujian. Dalam ujian diperlukan persiapan mempelajari bahan-bahan yang akan diujikan. Terkadang kita mengeluh capek, karena harus mempelajari maksimal bahan ujian. Dan ketika ujian selesai, apa yang kita lakukan? Plong! Hati lega karena telah lepas dari ujian. Plus bergembira ria sebab tak perlu lagi belajar. Game over. Sehingga tak aneh , selama puasa masih dianggap sebagai ujian, selama itu pula perilaku kita tidak berubah. Kita hanya berusaha menjadi “baik” ketika bulan ramadhan. Selebihnya kembali ke posisi semula, dimana kita merasa bias berbuat “semau gue” karena tak ada kekangan.

Karena itu saudaraku, lebaran bukanlah suatu rutinitas semata. Lebaran punya makna lebih luas dari sekedar perayaan atau pesta. Tergantung kemampuan kita untuk menemukan makna yang hakiki dibalik lebaran. Sebab selama kita tidak memiliki kemampuan untuk menemukan makna yang benar dari apa yang kita lakukan, selama itu pula pertumbuhan dan perkembangan kita sebagai manusia paripurna akan terus mengalami hambatan. Semoga kita bisa menggelar pementasan yang lebih indah di atas panggung pagelaran seni kali ini. Dan biarkan pestanya bubar…(berbagai sumber)

No comments: